About this blog

Senin, 16 Mei 2011

MEMULIAKAN PEREMPUAN BAG 1



“Jika seorang istri mendirikan sholat yang lima waktu, berpuasa pada bulannya (Ramadhan), memelihara kemaluannya, dan mematuhi suaminya, maka malaikat akan berkata padanya di ahirat, ‘masuklah kamu ke surga dari arah pintu manapun yang engkau sukai.”
(HR. Ahmad &  Ibnu Hibban yang di shahihkan oleh Albani)

Teringat kisah Amirul Mukminin Umar bin Khatab yang tengah mengadakan inspeksi keadaan rakyatnya. Disaat-saat penat, Umar beristirahat dan menyandarkan tubuhnya disebuah rumah. Tak lama terdengar percakapan dua orang wanita yang kemudian diketahui, percakapan antara ibu dan anak putrinya. Dalam percakapan itu, sang ibu berkata “wahai putriku, ambillah susu itu dan campurilah ia dengan air biasa.” Putrinya menjawab, “ wahai ibu, apakah ibu tidak tahu bahwa Amirul Mukminin telah mengeluarkan keputusan bahwa susu tidak boleh di campur dengan air?.” Ibu itu kembali berkata, “Wahai putriku ambil saja susu itu dan campurlah dengan air. Saat ini kau berada di suatu tempat yang tidak bisa dilihat Umar.” Putrinya kembali menjawab,”Aku tidak akan mungkin mentaati Umar disaat ramai dan mendurhakainya disaat sepi.” Umar yang mendengar pernyataan itu lantas menyegerakan putranya ‘Ashim untuk menikahinya dengan  anak penjual susu itu. Dari keturunan perempuan inilah lantas  terlahir pemimpin besar Umar bin Abdul Aziz, seorang Amirul Mukminin yang terkenal keadilannya. Sampai-sampai tidak ada lagi orang miskin yang mau menerima uang zakat, karena segalanya serba kecukupan.

Sejarah telah mencatat, bahwa orang besar dapat terlahir dari keturunan seorang perempuan biasa. Namun segalanya tentu tidak terjadi dalam kasat mata. Ada suatu peran lain, yang menyebabkan semuanya terjadi. Semua itu terjadi karena ada garis keturunan yang mendarah daging. Seperti halnya perempuan penjual susu dengan garis perempuannya yang menampakkan kejujuran dan ketaatan. Kejujuran dan ketaatan adalah etikat yang harus dimiliki seorang perempuan. Yang menunjukkan sisi lain seorang perempuan. Hal ini tentu berbeda dengan garis kelelakian. Tidaklah cukup bagi seorang laki-laki dengan sikap jujurnya untuk hanya sekedar tidak menambahkan susu dengan air. Seorang lelaki perlu karya-karya besar untuk menunjukkan garis kelelakiannya.

Hal ini tentu bukanlah mendiskreditkan perempuan. Atau bahkan menempatkan posisi lelaki diatas perempuan. Justru sebaliknya, garis perempuan dengan kejujurannya bukanlah suatu yang dapat di bilang kecil. Hanya berbekal kejujuran dan ketaatan menunjukkan fungsi dan peran perempuan yang sesungguhnya yang tak mungkin dapat tergantikan dengan peran laki-laki.

Jauh dari masa sebelumnya, keberadaan perempuan begitu dinistakan, sampai-sampai orang-orang pada masa itu begitu malu mempunyai anak perempuan dan menguburnya hidup-hidup. Allahsubhanahu wata’ala berfirman “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (Q.S. An-Nahl : 58-59). Bahkan dalam peradaban romawi kuno perempuan tak ubah hanya sekedar pelampiasan nafsu semata yang dapat diperjual belikan. Sehingga tak dapat dipungkiri perempuan kerap kali menjadi objek penindasan kaum laki-laki.

Dari poros inilah, yang kemudian di gaungkan persetaraan atau penuntutan hak memperlakukan sama antara laki-laki dan perempuan. Tak terkecuali di zaman ini. Feminisme merebak, menuntut kesetaraan. Perubahan status perempuan hanya dapat melalui revolusi sosialis dengan cara menghapus pekerjaan domestic (rumah tangga). Perhatikan pernyataan berikut “Revolusi bukan jaminan. Persamaan bagi laki-laki dan perempuan dirasa tidak cukup, karena kaum perempuan tetap dirugikan dengan adanya tanggung jawab domestik mereka, maka perempuan akan mencapai keadilan sejati jika urusan mengelola rumah tangga diubah bentuknya menjadi industri sosial, serta urusan menjaga dan mendidik anak menjadi urusan publik.” Demikianlah dalam teori Marxis klasik.

Feminisme yang menyetarakan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan adalah bentuk diskriminasi. Hal ini tentu beralasan, karena tidak adanya bentuk kemuliaan yang diberikan untuk perempuan. Kaum feminis barat merasakan betul bagaimana perempuan tidak mendapatkan kemuliaan, terlebih ketika mereka memasuki usia lanjut. Karena banyak dari mereka yang dititipkan di panti jompo. Oleh karenanya mereka membuat hari ibu, sebagai bentuk pengabdian satu hari untuk ibu.

Dalam islam, peran perempuan mendapatkan poin tersendiri. Tak ada dalam ajaran lain, yang bentuk kemuliaannya begitu mengagungkan peran dan fungsi perempuan selain islam. Salah satu bentuk apresiasi islam yang paling tertinggi terhadap perempuan adalah mensejajarkannya dengan kenikmatan terbesar di hari kemudian, yaitu surga. Rasulullahsallallahu’alaihi wassallam bersabda, “Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu”. Banyak hadits yang menceritakan antara perempuan dan surga, walaupun yang membicarakan sebaliknya juga banyak.

Islam begitu memuliakan perempuan. Sebagaimana sabda Rasulullahsallallahu’alaihi wassallam yang menempatkan perempuan diatas laki-laki dalam hal yang paling baik dihormati, “Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah SAW dan berkata: ‘Wahai Rasulullah SAW, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ibumu.’ Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Laki-laki itu kembali bertanya, ‘Siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Keempat kalinya, laki-laki itu bertanya, ‘Siapa lagi?’ Kali ini Rasulullah SAW menjawab, ‘Bapakmu.” (Muttafaq alaih).

Dalam hal pengabdian, islam pun memberikan kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Hal ini kembali menunjukkan bagaimana islam memberikan perhatian lebih kepada  perempuan. Seperti dialog yang terjadi antara Asma' binti Sakan dengan Rasulullah sallallahu’alaihi wassallam. Asma' berkata, "Wahai Rasulullah, bukankah Engkau diutus oleh Allah untuk kaum pria dan juga wanita. Mengapa sejumlah syariat lebih berpihak kepada kaum pria? Mereka diwajibkan jihad, kami tidak. Malah, kami mengurus harta dan anak mereka di kala mereka sedang berjihad. Mereka diwajibkan melaksanakan shalat Jum'at, kami tidak. Mereka diperintahkan mengantar jenazah, sedangkan kami tidak." Rasulullah saw. tertegun atas pertanyaan wanita ini sambil berkata kepada para shahabatnya, "Perhatikan! betapa bagusnya pertanyaan wanita ini." Beliau melanjutkan, "Wahai Asma'! sampaikan jawaban kami kepada seluruh wanita di belakangmu, yaitu apabila kalian bertanggung jawab dalam berumah tangga dan taat kepada suami, kalian dapatkan semua pahala kaum pria itu." (Diterjemahkan secara bebas, HR Ibnu Abdil Bar).

Begitu indah dan agung, islam menempatkan posisi perempuan. Menyetarakannya dengan sebuah kenikmatan terbesar (surga). Sebuah tanggung jawab yang tidak bisa digantikan peran laki-laki sekalipun. Kesetaraan tidak harus segalanya sama. Perbedaan tanggung jawab merupakan bentuk kemuliaan yang telah di gariskan. Karena segalanya di ciptakan agar memberikan keseimbangan dan saling melengkapi. Seperti halnya putri penjual susu dengan garis perempuannya yang merupakan bentuk kealamiahan seorang perempuan. Sehingga dari garis keturunannyalah melahirkan seorang pemimpin besar. “Di balik setiap orang-orang besar selalu ada peran-peran perempuan”.
Wallahu a’lam bishowab

0 komentar:

Posting Komentar

WEB KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Jalanan)

Recent Coment

KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Jalanan)

KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Jalanan)
Bagi yang ingin mengulurkan tangan sebagai donatur, silahkan kunjungi grup dan bergabung (Klik Gambar)
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More