DIA
Dia masih berdiri dan memandang laut luas, sambil mengelus-elus perutnya yang yang sedang mengandung bayi, seperti sedang menunggu kedatangan seorang yang sangat dinanti-nantikan. Hanya segelintir orang yang sedang bermain di pantai putih, bermain dengan derunya ombak bersama anak dan sanak keluarga, hanya dia saja seorang diri dengan perasaan cemas. Sore ini, pasak laut akan menaik tinggi, ombak akan semakin ganas, sepertinya akan ada badai. Para nelayan tidak ada yang berani melaut, takut terjadi sesuatu pada diri mereka masing-masing. Seorang menghampirinya.
“Nyai, kenapa masih berdiri di sini, apa suamimu belum juga pulang dari melaut?” Tanya Kang Rojak padanya.
“Belum, Saya sangat mencemaskannya. Biasanya, jam lima sore sudah selesai melaut. Tapi kali ini suami saya belum juga muncul ke tepian.” Tangannya meremas erat selendang hijau yang menyelimuti leher dan rambutnya.
“Kalau gitu, saya mau pulang dulu ya, moga saja tidak ada apa-apa dengan suamimu, kalau tidak salah dia melaut bersama si Ujang, jadi kayaknya akan aman bila bersama. Mari Nyai,” Lalu meninggalkannya, dan hilang dalam pandangan.
Sore itu, angin laut begitu kencang menerpa kebaya, dan menyibak selendang yang dia kenakan. Dari ujung lautan, terlihat hidung perahu kecil dengan layar yang mengembang kecil. Dayuhan tangan cepat mendayung menuju daratan. Salah seorang tersebut berdiri di ujung perahu dan melihat daratan, kemudian melambaikan tangan seraya berteriak memanggil namanya. Hatinya kini tenang, Suaminya tidak apa-apa.
Sesampai di ketepian sambil menarik perahu ke daratan, Ujang yang sedari terlihat lelah mendayung, hanya bisa mengeluh kecapaian. Sedangkan suaminya mengambil sesuatu dari dalam perahu berupa jala ikan beserta tangkapannya yang sudah dimasukan ke dalam ember hitam tertutup.
“Kang, capek ya? Tumben sore menjelang maghrib baru pulang?” Sambil menyusutkan keringat suaminya. Namun hanya diam yang didapatkan dari sang suami. Diapun bertanya kepada Ujang yang sedang duduk di atas pasir, dan kemudian merebahkan kaki untu menghilangkan pegal.
“Jang, kok pada diam, ada apa?” heran.
“Nyai, minggu-minggu ini laut lagi tidak bersahabat dengan kita. Ikan-ikan entah para kemana, yang jelas tangkapan hari ini semakin sedikit saja, yang ada hanya ikan kecil saja. Kalau terus begini, penghasilan penjualan ikan semakin turun. Terus mau makan apa anak-anak kami”
Suaminya hanya bisa menarik nafas panjang, dan mengeluarkannya berat. Wajah itu, bukanlah wajah suaminya yang dulu. Hilang entah dimana. Dulu, sejak masih bagus keadaannya, perhari melaut bisa mendapatkan 200 ton ikan laut, suaminya selalu tersenyum bahagia, dan semangat yang tiada henti. Anak-anak nelayan pun berlarian menghampiri dan kemudian merauk sebagian tangkapan untuk dijadikan makanan keluarganya. Setiap datang, suaminya selalu disambut hangat oleh senyuman mungil yang menghiasi wajah yang kumal ini akibat terjemur sinar matahari. namun semenjak cuaca yang tidak menentu, sehari hanya bisa mendapatkan 2 ton ikan laut saja, dan hari ini yang terparah bagi para nelayan.
Sesampai dirumah, suaminya hanya bisa merebahkan badannya pada kursi bambu yang sudah tertelan usia, membayangkan masa depan keluarganya.
Hari berganti hari, dia tidak lagi berdiri menunggu suaminya. Orang yang biasa melihatnya, bertanya-tanya ‘kemana ia?’ Kang Rojak yang biasanya menyapa, heran akan hilangnya sosok perempuan itu beserta suaminya.
Disudut perkampungan, orang-orang sedang berkumpul sambil berteriak-teriak sedang menyemangati sesuatu. “Ayo, Jalu! Kalahkan si brokokok itu! Jangan sampai kalah.” Sedangkan yang lainnya berteriak membela yang satunya. Ternyata mereka sedang sabung ayam, dan mereka juga sedang taruhan besar-besaran.
“kang, masih ada duit gak?”
“Ada, masih banyak, tenang aja. Kita bakalan menang kali ini. Lihat aja nanti, ayammu Jang, pasti menang! Penuh semangat dan ambisi.
“Tapi, Kang, nanti kalau nanti kalah bagaimana? Kasihan Nyai Ijah, beserta anak Akang yang sedang dikandung itu”
“Tenang aja Jang, gak bakal kalah. Tapi kalau nanti kalah kan bisa nyari lagi duitnya”
Berjam lamanya akhirnya pertandingan tersebut usai dengan membawa kekalahan yang tidak berarti apa-apa. Ternyata akibat jarang mendapatkan tangkapan ikan, suaminya mengadakan sabung ayam, sekaligus menjadi pekerjaan barunya. Sedangkan di rumah, dia yang seorang diri mengasuh anaknya yang masih satu tahun itu, hanya bisa pasrah melihat kelakuan suaminya yang sudah berubah total begitu juga sikap padanya. Kadang-kadang wajahnya menjadi sasaran tamparan amarah suaminya ketika sedang menasehati kalau perbuatan yang selama ini dilakoninya adalah salah. Yang ada hanyalah menghambur-hamburkan uang saja. Sedangkan anak dan dirinya lebih membutuhkan makanan yang halal dibanding makanan yang dihasilkan perbuatan yang haram, dan hari ini dia tidak makan sama sekali. Badannya sudah luluh lantah akibat terjangan amarah suaminya, yang ada dalam dirinya hanyalah kesabaran sebagai isteri yang selalu berusaha menasihati suaminya. Apalagi banyak sebagian warga kampung yang bergunjing tentang ketidak harmonisan keluarganya.
***
“Jang, malam ini kita beraksi lagi, kali ini sasarannya adalah rumah Rojak”
“Duh, Kang, bahaya ah! Nanti kalau ketahuan nanti berabeh urusannya, apalagi sasarannya Kang Rojak, diakan udah kayak saudaranya Akang sendiri,” cemas dan gundah yang ada dipikiran Ujang.
“Ah, peduli amat! Dia juga gak pernah memberikan bantuannya pada saya”
Tengah malampun tiba, senyap, yang ada hanyalah suara deburan ombak yang semakin ganas, perahu-perahu nelayan tergeletak begitu saja tak terurus oleh pemiliknya. Derap langkah kaki begitu cepat menuju rumah yang sudah dijadikan incaran, hanya bermodalkan linggis, dan penutup kepala, mereka membobol rumah tersebut secara paksa.
“Kang, kita sudah masuk. Sepertinya pemilik rumah ini sedang tidur pulas”
“Baik, Jang, kamu cari barang yang bagus untuk bisa kita jual” sambil menyelinap dalam kegelapan.
Mereka berpencar mencari setiap sudut ruangan yang ada untuk mencari barang berharga. Rumah Kang Rojak memang terbilang lumayan mewah, walau berpenampilan sederhana, namun penghasilan lumayan cukup.
Ketika sedang mencari harta benda, tiba-tiba saja lampu menyala, dan segerombolan orang sudah berkumpul di depan rumah Kang Rojak. Dengan amarah yang besar, sang pemilik rumah langsung menyeret dua orang yang tertutup oleh penutup kepala dengan kasar. Sesampai di depan rumah, penutup kepala tersebut dibuka.
“Ternyata benar, kalian ingin mencuri rumahku. Benar-benar keterlaluan kamu Kang, apalagi kamu Jang, terlalu lugu untuk diajak yang tidak baik. Mau jadi apa kamu! Kasihan isteri dan anakmu Jang,”
Warga yang sudah berkumpul kemudian menyaksikan sendiri siapa sebenarnya pencuri itu, langsung mencaci maki dengan membabi buta. Ada yang berkata “Hajar aja ampe mati!”, “Bakar aja, pencuri dikampung kita ini dan jangan diampuni!” dan hujatan lainnya yang tidak pantas diucapkan.
“Kami, semua warga sudah jengah dengan tingkah lakumu Kang, yang sudah berubah, padahal kamu adalah orang sangat dihormati oleh kami. Seorang yang mampu membuat anak-anak kampong nelayan ini sangat bergembira, menantikan ikan-ikanmu yang melimpah luah. Tapi sekarang lihat, engkau sudah menjadi orang
lain. Menjadi seorang sabung ayam liar, dan kini menjadi pencuri. Aku jadi kasihan melihat Nyai Ijah dan anakmu semata wayang itu.” Ujar Rojak sambil menenteng balok panjang ukuran besar.
Dua pencuri itu hanya bisa menunduk malu, dan tidak menoleh kemana-mana, karena semua mata tertuju pada mereka. Kapanpun, warga bisa jadi menghabisi mereka sekejap saja.
“Kang,” suara lembut tiba-tiba mengheningkan suasana. Semua terdiam memandangnya.
“Nyai, maafkan kami yang sudah bertindak kasar pada suamimu ini” Ucap Rojak yang sudah tahu akan kedatangannya.
“Kang, aku sebagai isterimu, sangatlah kecewa. Melihatmu berbuat demikian. Aku takut, anak kita semata wayang yang ada dalam kandungan ini akan membencimu kelak akibat ulamu sendiri. Taubatlah Kang. Jadilah suami Ijah yang dulu, yang selalu menyenangkan warga” tanpa terasa meneteskan air mata.
Suaminya yang hanya tertunduk hanya bisa memandangi tanah yang basah. Tangannya menggenggam erat rerumputan yang pendek, dengan susunggukan air matanya mengalir deras membasahi bumi. Ujang yang hanya terdiam ikut-ikutan menangis. Menyesal atas perbuatan yang selama ini adalah salah. Warga hanya bisa memandang.
***
Terhempas badan dari rebahan serta berteriak memanggil namanya. “Ijah!” Keringat bercucuran begitu saja, Nyai Ijah yang sedang menyiapkan makanan keheranan, sekaligus ketakutan.
“Ada apa Kang, kenapa berteriak seperti itu, Ijah ada disini” sambil menyuguhkan air hangat.
“Akang, menyesal Ijah”
“Menyesal kenapa? Memang apa yang Akang lakukan?”
“Entahlah Ijah, sepertinya Akang bermimpi” langsung memeluknya penuh kehangatan. dengan kesadaran hati, tidak akan pernah seperti itu, masih ada kata iman dalam diri untuk merubah masa depan.
“Entahlah apa yang terjadi padanya, namun dia tetaplah suamiku”
~end~
~akzf~