About this blog

Selasa, 18 Januari 2011

KALA AWAN MENDUNG ITU

Mendung pekat membumbung di angkasa, bak permadani bergelombang ditiup hembusan angin. Mentari tak terlihat memberi senyuman kebahagiaan. Hujan tak juga memudar, semakin deras membasahi bumi yang kini sedang dirundung kesedihan. Tak terasa sudah tiga hari aku tinggal di perkampungan lamaku sebagai relawan bencana. Semenjak  pasca tanah longsor itu terjadi, menewaskan puluhan warga setempat dan merusak berbagai fasilitas setempat terutama rumah warga.

Pada awal mulanya, kejadian itu dimuat diberbagai alat media elektronik dan cetak. ketika Berita itu dengan cepatnya tersebar, hingga mengaung di telingaku. Spontan membuatku tersentak dan tak percaya apa yang telah terdengar barusan, lokasi yang diberitakan berada di perkampungan lamaku, tempat tinggalku dimasa kecil. Tiba – tiba teringat kembali wajah senyap seorang anak perempuan dibenakku.

“apakah ia masih tinggal disana?” bisik hatiku menjadi penasaran.

Tak berapa selang dua hari kemudian, aku berangkat kesana bersama rombongan simpatisan relawan bencana dengan alat trasport yang telah disediakan oleh donatur.

Di sepanjang perjalanan, tak pernah luput rasa trauma yang mendalam tentang apa yang terjadi, entah kenapa mendengar kabar berita tersebut, mengingatkanku pada masa laluku. Terdengar jeritan kesakitan dan rintihan manusia tersebar tak menentu dimana-mana, membuatku meringis kesakitan, dan terngiang-ngiang selalu disela-sela mimpi selama ini.

Menyesakan ruang kebahagiaan di dadaku, ingin rasanya berteriak memohon,

“kenapa terjadi?!”

Kala itu, aku hanya berusia 11 tahun, yang ada dingatanku hanyalah ketakutan dan kehawatiran yang mendalam, karena sebuah tanah longsor meluncur deras dari atas perbukitan, yang dimana letak perkampungan berada di bawah kaki bukit tersebut,  dan akibatnya semua tersapu bersih tak tersisa. yang terlihat pada waktu itu adalah puing-puing serpihan sisa bangunan yang hancur tertelan bongkahan tanah. Aku trauma waktu itu, karena pada saat kejadiaan berlangsung, aku berdiri tepat di depan halaman rumah yang selalu menjadi tempat bermain bersama teman-teman, dan rumah itu adalah rumahku. Orang tuaku telah tiada tertelan bumi. Aku menjerit sekuat-kuatnya, melepas kesedihan yang tak bertepi ini. Mengoyak-ngoyak jantungku, ingin rasanya mati waktu itu juga.

Terisak-isak tangis mereda, suaraku mulai parau dibuatnya.

“Kenapa terjadi? mengapa harus ada yang terelakan? Orang yang ku kasihi, orang yang ku sayangi kini telah meninggalkanku, salah siapakah ini? Tanggung jawab siapa ini? Siapa yang sadar, Anak yang baru beranjak kelas 3 SD ini, akan menuntut!.

Siapa yang akan berani berkata, “saya yang akan bertanggung jawab, saya yang telah menebang segala pepohonan di pemukiman ini, sehingga longsor bebas leluasa menelan apa yang dihadapannya, jadi hukumlah saya!!” tetapi tak ada, semua bungkam. Tak terdengar suara keadilan itu berbicara lantang. Semua terdiam, bungkam. Sesal batinku.

Di sela isak tangisku memelan, sosok sepasang mata memandang dingin ke arahku, seorang perempuan seusiaku terdiam berdiri mematung di antara mayat-mayat yang tergeletak berbaring tak beraturan. Perempuan itu begitu sayu dan  membuatku penasaran.
Aku menghampirinya, dia terdiam saja tak bergerak sama sekali, kagetpun tidak. wajahnya yang lugu memandang mayat-mayat dihadapannya, dan ketika semakin mendekat, perempuan itu memandangku sedih. Ternyata tak hayalnya sepertiku ini yang telah kehilangan semuanya. Orang yang disayanginya pun telah tiada.

“Siapa kamu?” spontan aku bertanya penuh penasaran, karena baru kali ini melihatnya berada di perkampungan ini.

“Lena” jawabnya singkat dengan dingin.

Dari mana asalmu, Lena?”

“dari Kota Sukabumi,”

“sedang apa kamu disini, sedangkan tak ada yang tahu longsor itu kembali menerjang perkampungan, apa Lena tidak takut,?

“tidak,” jawabnya tenang, ”Lena dilahirkan disini, tetapi dibesarkan di Kota Sukabumi.” Dengan wajah yang dingin memandangku “Tetapi semenjak orang tua Lena meninggal karena kecelakaan pada tiga bulan yang lalu, Lena tinggal bersama Kakek dan Nenek disini, banyak kebahagiaan yang Lena dapat walau hanya barau sebentar tinggal di perkampungan ini. Termasuk kasih sayang mereka.   Namun sekarang sudah sirna. Ulah tangan tak bertanggung jawab. Hutan-hutan perbukitan di atas perkamupungan telah binasa, semua habis ditebang mereka. biadab!.”  Tanpa tersadar menitih air mata deras membasuh kekeringan jiwa yang sedang dirundung duka.

Aku hanya bisa menundukkan kepala sambil mengepalkan tangan mengumpulkan amarah yang tak tertahankan lagi.

Yang ada di sekitarku hanya puing-puing dan mayat-mayat terbungkus tanah.

******

Tetesan cipratan air hujan menerpa wajahku dengan lembutnya, dengan riuh suara gemuruh petir menyambar-nyambar menyadarkanku dari lamunan masa lalu. Sekarang aku tinggal di kampung ini hanya sebatas relawan bencana gempa saja. keseharianku hanyalah mencari korban yang masih tertimbun di tempat kejadian.  Hujan deras masih membasahi wajah pemukiman itu dengan kegundahan, takut tiba-tiba tanah kembali longsor. Pencarian sedang dalam pemberhentian sementara.

Di tenda posko bencana, aku dan teman-teman relawan sedang mengatur pembagian tugas pencarian korban yang masih tertimbun tanah longsor, sambil menikmati secangkir teh hangat tersodor di tatakan meja. Pemimpin relawan sudah membagikan tugasnya kepada kami semua, tak terkecuali aku. Sambil menunggu hujan reda, aku abadikan kisah kehidupanku di sebuah buku catatan harianku. Selama ini, semua tentang diriku kutuangkan semua dalam buku ini, baik kesedihan, kebahagiaan, amarah dan lain-lain. Ketika aku buka, mataku terpaku ke sebuah nama yang sengaja aku besarkan tulisannya. Ternyata sosok Lena masih menjadi bahan lamunanku.  

“Sekarang Lena berada di mana ya,?”
Usik hatiku gelisah. Selama datang ke sini, aku bukan hanya untuk menjadi relawan saja, tetapi untuk bertemu dengan Lena.

Sepanjang pencarian korban, yang sudah ditemukan kebanyakan sudah terindentifikasi penduduk setempat, dan nama-nama tersebut dipampang di papan pengumuman oleh regu PMI. Nama yang sudah ditemukan oleh keluarga korban, jenazahnya segera diambil oleh pihak keluarga. Nama Lena tidak ada di daftar, hatiku sedikit lega, mungkin Lena sudah tak tinggal di perkampungan ini lagi.   

Dalam pengambilan jenazah, di sinilah ketabahan hati itu terjadi, banyak dari keluarga korban yang menangis histeris, ada yang pingsan, dan ada yang tak rela atas kepergian korban. Bagiku semenjak kejadian yang menimpa pada ke dua orang tuaku waktu kejadian na’as itu, aku berpendapat bahwa Tuhan sudah mentakdirkan segalanya sesuai kehendaknya. Aku hanya ikhlas saja menerimanya. Mendoakan kebaikan kepada orang tuaku di alam sana. Dan kebencian itu sudah sirna ditelan waktu, bergulirnya pelajaran hikmah yang sudah banyak aku tela’ah demi diriku dan masa depanku. Aku sudah bukan yang dahulu.  

Pencarian dilanjutkan kembali. Hujan yang deras kini mulai mereda. Alat-alat berat dikeluarkan guna membantu pencarian. Aku dan beberapa relawan ditugaskan di bagian selatan dekat hilir sungai. Di perjalanan menuju arah selatan, masih tergambar di ingatanku letak-letak pemukiman warga setempat yang menjadi tetanggaku yang dahulu ikut terjebak dan tertimbun tanah longsor. Banyak yang tak selamat waktu itu. Semua tewas seketika.

Di penghujung jalan diriku tercengang seketika. Letak lokasi itu, membuatku trauma kembali. Suasana redup hatiku kini menjadi gelap gulita. Aku tak bisa menahan air mataku lagi. Mematung ingin segera pergi dari lokasi ini. Dalam diamku, hingga membuat salah satu relawan menghardiku.

“hei sob, ada apa, Kenapa mematung sendiri?!” sambil memukul pundaku pelan.

Aku pun tersadar atas apa yang telah terjadi padaku “tempat ini adalah tempat orang tuaku meninggal, aku kembali mengingatnya dalam larutan kesedihanku sendiri, aku masih trauma,” sambil menepis air mata yang hendak menetes ke bumi dengan tanganku.

“oh, sungguh tak terduga, kalau kau tak kuat menerimannya sebaiknya kau tukar lokasi pencarian saja.”

“tidak usah, aku masih sangup” aku membuat simpul senyum kecil tanda berlalunya kesedihan itu.

“ya sudah, mari kita lanjutkan perjalanannya.”

“mari” jawabku.

Perjalanan pun dilanjutkan. Tibalah di tempat lokasi tujuan. Tempat disini rusak berat. Rumah-rumah hancur, tanah persawahan tertimbun longsor. Hanya sebuah menara tegak berdiri bersanding dengan pepohonan yang tumbang. Menara itu adalah menara Adzan masjid kebanggaan warga setempat. Masjidnya hanya rusak pada haluan jendela dan pintunya saja.
Akhirnya pencarian dimulai. Penggalian dimana-mana, semua bekerja keras mencari korban yang tertimbun. Secuil tanah tidak ada yang terlewatkan, semua tergali.

Selama lima jam lamanya, pencarian itu tak membuahkan hasil. Tak ada yang menemukan sejasad pun. Cuaca mulai kembali mendung. Awan kelam muncul menyelimuti alam. Gerimis menjadi pembuka kesejukan, penghilang letih para relawan dari dahaga haus yang dirasakan. Sepertinya akan ditunda kembali pencarian bila hujan benar-benar turun kembali.

Tiba-tiba ada teriakan salah satu relawan di bagian barat pemukiman, bahwa ada korban jenazah ditemukan. Semuanya pun mendengar, dan bergegas menghampiri dengan segera menuju tempat lokasi. Tak terkecuali diriku, penasaran.

Semakin ramai warga dan tim relawan berkumpul, semakin susah melihat jenazah yang ditemukan itu. Aku pun mencari celah untuk melihatnya. Jenazah itu langsung dimasukan ke dalam kantong mayat. Aku melihat celah sedikit, langsung menerobos begitu saja untuk melihat siapa yang ditemukan. Sesempat mungkin ku memaksakan sebelum ditutup. Akhirnya berhasil. Aku berhasil melihatnya.

Hujan pun turun derasnya dengan bersamaan diangkutnya jenazah itu dibawa.
******

aku berdiri di tengah-tengah derasnya hujan, cucuran air mata larut bersama arus hujan menimpa wajah senyap ini. Pikiranku kosong, memandang ke langit menambah rasa tetesan air hujan menyakitkan wajahku dengan perihnya. Tetapi lebih perih hati yang sedang dirasa kini. Wajah kaku yang terlihat sekilas itu yang terbungkus, mata sayupnya mengingatkanku pada masa lalu. Tak bisa aku tepis ulang. Semua sudah terjadi, sudah dua puluh tiga tahun kita tak berjumpa. Sekarang aku menemukanmu, disebuah sisi lain harapanku. Padahal aku ingin menyapa lembut dirimu. Menasihati dirimu yang diselimuti kebencian terhadap keangkuhan penguasa dzolim.
Oh Lena, akhirnya aku menemukanmu di dalam perbaringan terakhirmu. Berbaris manusia menghantarkan tubuh lunglaimu. Kecuali aku. Cukuplah wajahmu pengingat kepedihanku, Lena. Aku sudah bosan kehilangan. Biarkan penguasa sana berkaca diri. Bersorak riang mendapatkan apa yang sudah dilakukannya. Kelak mereka akan merasakan pedihnya sebuah pertanggung jawaban di akhirat. Ada yang mengabarkanku, bahwa dirimu Lena, berjuang keras mengusir para penebang liar itu. Dengan kegigihanmu, Kau perjuangkan keseimbangan alam di tanah kelahiran.

Adakah yang megabadikan kisah ini. Hanya aku saja yang tahu, di Negeri khayalan aku berpijak, mencari akan sebuah keadilan itu nyata, pada ujung bola mataku bersaksi.
Pasti masih ada harapan indah itu terwujud, Lena.

~Ahmad Khoirul Zul Fithor~


0 komentar:

Posting Komentar

WEB KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Jalanan)

Recent Coment

KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Jalanan)

KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Jalanan)
Bagi yang ingin mengulurkan tangan sebagai donatur, silahkan kunjungi grup dan bergabung (Klik Gambar)
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More