Siang ini hujan mengguyur Ibu kota Jakarta dengan derasnya. Rerumputan di taman mulai tergenangi air yang semakin lama semakin meninggi. Kendaraan bermotor berlalu lalang mencari tempat berteduh menghindari rintikan hujan yang kian tak berhenti.
Disudut pemukiman Ibu Kota yang semakin padat penduduknya. Aku, Ikbal Mahasiswa di sebuah Fakultas kecil Swasta sedang memandang langit mendung pekat di jendela kamarku dari dalam. Ditambahnya rembasan air hujan jatuh dari langit-langit bertandangkan ember untuk menampungnya. Sebuah ruangan kamar Kost yang hanya berukuran sekitar kurang lebih panjang dan lebarnya empat kali empat meter saja, cukup terisikan dua orang, tempat tidur, dan ruang belajar. Itupun kalau memang muat. Tempat Kostan yang terletak tak jauh dari keramaian Ibu Kota itu berlantaikan dua. aku tinggal di lantai dua yang pemandangannya langsung tertuju kepada keramaian jalan, dan juga letaknya tak jauh dari tempat aku kuliah.
Tiga bulan lagi sidang Tugas Akhirku akan dimulai, persiapan bahan materi sudah terkumpul semua. Tinggal menyusun kembali bahan-bahan, dan kemudian mencoba untuk mempelajarinya lagi. Bukan itu saja, mental pun harus dipersiapkan matang-matang, karena biasanya penguji akan benar-benar mengoreksi dengan ketat dan tegas.
Namun suasana hati yang dirasakan olehku hari ini ternyata berbeda, ada kegundahan dan kesedihan yang berkecambuk di relung hatiku. Memandang ke luar jendela melihat pemandangan langit sekaligus arus kepanikan orang-orang menghindari curah hujan yang belum juga berhenti.
Disudut pemukiman Ibu Kota yang semakin padat penduduknya. Aku, Ikbal Mahasiswa di sebuah Fakultas kecil Swasta sedang memandang langit mendung pekat di jendela kamarku dari dalam. Ditambahnya rembasan air hujan jatuh dari langit-langit bertandangkan ember untuk menampungnya. Sebuah ruangan kamar Kost yang hanya berukuran sekitar kurang lebih panjang dan lebarnya empat kali empat meter saja, cukup terisikan dua orang, tempat tidur, dan ruang belajar. Itupun kalau memang muat. Tempat Kostan yang terletak tak jauh dari keramaian Ibu Kota itu berlantaikan dua. aku tinggal di lantai dua yang pemandangannya langsung tertuju kepada keramaian jalan, dan juga letaknya tak jauh dari tempat aku kuliah.
Tiga bulan lagi sidang Tugas Akhirku akan dimulai, persiapan bahan materi sudah terkumpul semua. Tinggal menyusun kembali bahan-bahan, dan kemudian mencoba untuk mempelajarinya lagi. Bukan itu saja, mental pun harus dipersiapkan matang-matang, karena biasanya penguji akan benar-benar mengoreksi dengan ketat dan tegas.
Namun suasana hati yang dirasakan olehku hari ini ternyata berbeda, ada kegundahan dan kesedihan yang berkecambuk di relung hatiku. Memandang ke luar jendela melihat pemandangan langit sekaligus arus kepanikan orang-orang menghindari curah hujan yang belum juga berhenti.
Mata sembab berlinang air mata telah menemaniku dikesendirian. Menambah desiran pilu yang menggores keimanan. Kemudian kebimbangan telah menyelimuti hati, dan merambah menuju ambang keputus asaan.
Dalam lamunan kesedihanku, terlintas bayangan sosok perempuan melayang-layang di hatiku, menambah derasnya linangan air mata jatuh ke lantai. Sudah berhari-hari lamanya bayangan itu tak pernah sirna, walau kenyataanya ingin sekali menyingkirkan dan melupakannya. Tapi sangatlah susah.
Perempuan yang sudah mengisi ruang hatiku penuh kebahagiaan, dan menghiasi celah-celah hari penuh dengan warna-warni keceriaan. Dengan memandangnya, sudah cukup bagiku tersenyum penuh takzim, dan kehadirannya saja membuat hatiku tentram.
Sejak lama, ingin sekali melamarnya kelak, menunggu waktu yang tepat mengungkapkan perasaan ini. namun kenyataanya malah sebaliknya, keinginan itu hanya angan-angan saja. Aku melirik ke atas meja, sebuah secarik kertas undangan Pernikahan merah jambu dengan sebuah pita terpajang di ujung kertas dengan sangat rapih. Di dalamnya tercantum sepasang nama yang akan segera melangsungkan akadnya hari ini, Nanda dan Bayu.
Undangan itu sendiri datang tiga hari yang lalu, dan yang memberi undangan tersebut adalah Nanda sendiri. Betapa terpukulnya aku ketika melihat sebuah kertas undangan itu di tanganku. Ingin seketika itu menangis, tetapi aku mencoba tetap tegar dihadapannya. Raut wajah Nanda tidak secerah sebelumnya, seperti ada masalah yang sedang dihadapinya. setelah memberikan Undangan, Nanda berlalu begitu saja. di matanya terlihat butiran-butiran bening menetes. Tapi cukuplah Allah yang tau apa yang terjadi.
“Ya Allah, apa yang terjadi, mungkin dia bukan cintaku, dan bilakah ini kehendak-Mu, aku memasrahkan diriku pada-Mu, .” bisik doaku pada-Nya.
Tiba-tiba tersentak tersadar dari lamunanku, Suara ketokan pintu terdengar keras berulang-ulang, sepertinya sudah lama. Rupanya kesedihan itu seakan-akan melenyapkan nyawaku pelan-pelan, dan membawaku ke alam kehampaan hingga suara ketokan pintu pun tak terdengar. Dengan spontan aku berdiri, seraya mengucakan Istighfar berkali-kali sambil mengusap air mata yang berlinang, dan mulai menenangkan diri sejenak sebelum membuka pintu tersebut.
Langkahku terbata – bata akibat kesemutan di kaki. Ternyata sudah lama aku duduk termenung di lantai menghadap jendela. Aku melihat jam, ternyata sudah jam dua siang. Cuaca tak berubah, masih mendung pekat, sepekat kesedihan yang ku rasa saat ini.
“Assalamu’aalaikum, Nak Ikbal?” suara salam di balik pintu.
“Walaikum Salam,, iya,,,” jawabku sambil membukakan pintu.
Ketika membukakan pintu, aku terkejut siapa yang ada dihadapanku ini. Orang tua Nanda.
*****
Hujan sudah mulai mereda. Suara ribut kendaraan mulai terdengar kembali. Pejalan kaki sudah melangkahkan ke tujuan arahya. Langit tak begitu pekat lagi, bersilih waktu memudar memperlihatkan seberkas cahaya mentari menyorot bagaikan sebuah penerang kembali hati yang dirundung gelisah. siang ini, terasa begitu misterius akan kehadiran kedua orangtua Nanda.
Ketika mengetahui siapa yang datang, dengan rasa terheran – heran dan gugup aku persilahkan mereka duduk di atas lantai yang hanya beralaskan tikar usang di samping tempat tidurku.
“Maaf, Pak, Bu, bila susana ruangan kurang berkenan di hati” risihku dengan rasa malu akan ruangan kostan yang agak sempit.
“Ada apa gerangan Bapak dan Ibu berkunjung ke Kostan saya yang sempit ini? bukankah Bapak dan Ibu seharusnya hadir dalam akad nikahnya Nanda?” sambil menundukkan kepala. Bekas tangisan masih membekas memerah di matanya.
“Begini Nak Ikbal,” Kata Bapak Nanda sambil membenarkan posisi duduknya “Apa Nak benar-benar mencintai Nanda anak kami?”
Sebuah kalimat pertanyaan yang menggelegarkan hati Ikbal. Ada rasa senang, bingung dan penasaran.
“Memang ada apa Pak?” penasaran.
“e,, Begini nak Ikbal, ini semua salah kami,,” sambung Ibu Nanda dan langsung menitihkan air mata tak tertahankan, tak bisa berkata apa-apa.
“Sebenarnya ada apa Pak, Bu,,? tolong jelaskan ke saya,,!!”
“Semenjak anak kami Nanda kenal dengan nak Ikbal, sikapnya di lingkungan kami selalu ceria, tak pernah luput dari pandangan kami akan senyumannya. Nanda selalu menceritakan kehidupan nak Ikbal yang berjuang dalam kehidupan yang serba kesusahan. Semua ia ceritakan. Sampai bagaimana membiayai keluarga nak Ikbal. Baik dari adik-adik nak Ikbal, sampai kepada orangtua nak Ikbal di Semarang. Kami hanya sebagai pendengar saja.” Jawab Bapak Nanda sambil tunduk sedih
Dan melanjutkan kembali ceritanya, “kami tidak tahu bahwa Nanda diam – diam menyukai Nak Ikbal, sampai saat perjodohannya dengan Bayu membuatnya berubah total”
“Maksud Bapak,?” semakin penasaran, tetapi perkataannya tentang Nanda menyukainya membuat hati Ikbal kian berbunga-bunga tapi tak terlalu berharap.
“Iya, sikap Nanda seratus delapan puluh derajat berubah total, keceriaan yang lalu, kini mulai memudar. Senyumannya kini tak lagi mengembang mesra dihadapan kami, seakan Nanda membenci kami. Dua hari belakangan ini Nanda mulai sakit-sakitan, Nanda mengunci dirinya di dalam kamar, sampai sekarang.” Bapak Nanda yang sedari sedih mulai menitih air matanya “ini semua salah kami, kami orang tua yang terlalu egois.”
“Terus, bagaimana Akad nikahnya Pak?” Tanya Ikbal.
“Perjodohan itu sebenarnya karena keinginan kami dengan kedua orang tua Bayu. Saya adalah karyawan di perusahaan Bapaknya Bayu. Semenjak Nanda kami perkenalkan kepada pihak keluarga Bayu, kami bersama ingin menjodohkan mereka. Tapi, kini kami sadar, kami terlalu memaksakan kehendak, tidak memikirkan perasaan Nanda, Akad itu tak akan terwujudkan, bila dari salah satu kedua belah tak saling mencintai, tak akan pernah ada kebahagiaan di hati Nanda” diam sejenak.
“Lalu,,” lirihku pelan.
“Maka kami memutuskan untuk membatalkan pernikahan itu. Sekarang, apakah nak Ikbal benar – benar mencintai Nanda, anak kami.?”
Tanpa dirasa, hati ini berbunga-bunga. Kian kencang gemuruh kebahagiaan yang dirasakan kini. Tak percaya apa yang terjadi.
“Mimpikah aku,” lalu dengan spontan mencubit paha dengan keras, terasa sakit, “berarti ini bukan mimpi” ucapku dalam hati.
“Apa Jawaban nak Ikbal,? Menunggu.
“Iya, Insya Allah saya mencintai Nanda, sebagaimana Nanda mencintai saya, dan sebagaimana lebihnya cinta saya kepada Sang Pencipta Cinta dan Rosul-Nya.” Tunduk tersipu malu.
“Subhannallah, Walhamdulillah, Wala Illa ‘haillallah,,” Bapak dan Ibu Nanda langsung berpelukan bahagia seraya terus bedzikir. Tak ada perasaan yang lebih bahagia selain melihat anaknya berbahagia.
“Tapi sebelumnya, kami mau meminta maaf kepada nak Ikbal, ada satu hal kabar yang belum tersmpaikan ke nak Ikbal”
“Berita apa itu Pak,?” sambil mengusap matanya yang sejak lama memerah karena bekas menangis, kini harus sembab kembali, tapi yang ini berbeda, menangis bahagia.
“Nanda kini di Rumah Sakit Umum Jakarta, Nanda terkulai pingsan karena lemas jarang makan. Maafkan kami Nak Ikbal, ini semua salah kami sebagai orangtuanya atas tindakan kami yang seronoh, tak memperhatikan keinginan sebenarnya.
“Subhannallah,, Allahu Akbar,,” pekik Ikbal, “Pak, Bu,, sebaiknya kita segera bergegas ke Rumah Sakit,” sambil terbangun dari duduknya.
“Baiklah nak Ikbal, kami tunggu di bawah, sekali lagi kami minta maaf” bangkit dari duduknya.
“Bapak dan Ibu nggak usah meminta maaf, minta maaflah kepada Nanda,”
“Ya nak Ikbal”
Akhirnya kami berangkat menuju Rumah Sakit Jakarta dengan menaiki kendaraan umum, dengan rasa gundah di hati orangtua Nanda berharap kedatangan nak Ikbal membawa suatu keajaiban terhadap anaknya.
*****
Sesampai di Rumah Sakit, kami langsung bergegas menuju kamar 108 bunga di lantai tiga gedung Rumah Sakit Umum Jakarta, tempat di mana Nanda dirawat kini.
Pintu dibuka pelan-pelan olehku, dan terlihat di depan mataku Nanda terbaring tak sadarkan diri, infus terpasang di lengan kirinya. Wajahnya pucat, menandakan Nanda tak sehat. Sejurus kemudian Bapak Nanda memegang tangan kanan Nanda dan duduk sambil menangis.
“Maafkan Bapak dan Ibu duhai anakku, kami telah salah langkah dalam membuatmu bahagia. Sadarlah anakku, kami ingin kau bahagia sesuai keinginanmu, kami sekarang mengerti. Duhai anakku sadarlah,!” Lirih suara Bapak akan ucapannya sambil mencium tangan Nanda.
Sang Ibu hanya bisa pasrah melihat anaknya terbaring tak sadarkan diri, menangis pilu, dan tak kuat menahan rasa bersalahnya. “Maafkan kami anakku” bisiknya di hati.
Sedangkan diriku bingung harus berbuat apa, tak ada yang bisa ku lakukan. Berdiri mematung disamping Bapak Nanda.
Tiba-tiba ada respon yang terjadi pada Nanda, tangannya mulai begerak, matanya mulai terbuka. Bibirnya menggumam menyebut nama Ikbal berkali-kali.
Aku pun tersentak kaget, lalu segera memanggil dokter untuk dipriksa keadaannya. Tapi bibir Nanda terus memanggil namaku. Dan aku pun membalas panggilannya.
“Nanda, aku disini, disamping Bapakmu,” Balasku pelan.
Akhirnya Ibu Nanda yang memanggil Dokter.
Nanda lalu melirik ke arah samping Bapaknya yang dari tadi terus memegang tangan dengan erat. Sebuah senyuman mengembang kembali di bibirnya.
“Assalamua’alaikum Ikbal,”
Wa’alaikum salam, Nanda, bagaimana perasaan kamu sekarang?” sambil menjaga jarak.
“Alhamdulillah, rasa sakitnya sudah hilang kini,” sambil tersenyum.
“Sakit apa emangnya?” Balasku.
“Ah, biasa aja habis jatuh dari tempat tidur” jawabnya dengan canda.
Aku hanya tersenyum, aku tahu bahwa dia berbohong atas apa yang terjadi selama tiga hari menjelang akad nikahnya.
Bapak yang dari tadi bahagia melihat anaknya sadar kembali, lalu bermaksud ingin membicarakan sesuatu kepada Nanda. Namun sepertinya Nanda tak suka melihat Bapaknya. Nanda hanya ingin memandang langit-langit ruangan yang tak lagi memutih karena tertelan usia.
“Bapak dan Ibu tau, Nanda tak suka atas perjodohan itu. Bapak dan Ibu hanya ingin meminta maaf atas tindakan yang selama ini yang membuat Nanda menjadi begini. Sudikah memafkan Bapak dan Ibu,,,jawablah anakku” menangis kembali.
Sejenak sunyi, tak ada sepotong kata apa-apa yang terlontarkan dari lisan Nanda. Ikbal lalu menyarankan untuk memafkan. Di mata Nanda mulai terlihat samar-samar butiran bening bergelayut di kelopak matanya. Sekian lamanya akhirnya sepotong kalimat keluar dari lisan Nanda.
“Iya, Nanda sudah memaafkan Bapak dan Ibu sudah lama, tapi Nanda belum terima atas perjodohan itu” Nanda tidak tahu bahwa pernikahannya dengan Bayu dibatalkan.
Langsung sang Bapak mendekap dan mencium tangan Nanda dengan senangnya dan bahagia.
“Anakku, sebagai gantinya Bapak dan Ibu membatalkan pernikahanmu dengan Bayu. Menit dan detik ini, kamu bebas anakku”
Langsung sang Bapak mendekap dan mencium tangan Nanda dengan senangnya dan bahagia.
“Anakku, sebagai gantinya Bapak dan Ibu membatalkan pernikahanmu dengan Bayu. Menit dan detik ini, kamu bebas anakku”
“apa,!!” teriak Nanda bahagia “yang benar Pak, pernikahan Nanda dibatalkan, Allahu Akbar!!” betapa senangnya Nanda mendengarnya, lalu kembali melirik Ikbal yang dari tadi tersenyum melihatnya.
“Oya, anakku, ada satu lagi yang ingin Bapak sampaikan kepadamu,”
“apa itu Pak,?”
“Bapak akan menjodohkan kamu dengan seorang laki-laki yang selama ini mencintaimu,?”
Nanda kembali muram.
“Siapa Pak,?” sambil berpaling dari wajah Ikbal.
“Nak Ikbal” dengan lantangnya tak tertahankan lagi kebahagiaan itu.
Serentak Nanda tak percaya apa yang dikatakan Bapaknya. “Ikbal, dia,,,”
“Iya anakku, Ikbal akan menjadi calon suamimu,”
Mendengar ucapan itu wajah Nanda memerah malu.
“Ikbal, apa benar apa yang dikatakan Bapakku?” serasa tak percaya.
“Betul Nanda, aku akan melamarmu, tapi sehabis masa kuliahku dulu diselesaikan. Wisudaku masih lama, tiga bulan ini baru akan melaksanakan sidang Tugas Akhir.”
“Tidak apa-apa Ikbal, Nanda akan menunggumu,” tersenyum dalam pembaringan.
Hati Nanda berbunga-bunga, raganya terasa melayang – layang bahagia. Cintanya akan terlabuhkan. Nanda langsung bersyukur kepada Sang Pencipta. Ruang hatinya kini terisi akan rindu. Menunggu hingga batas waktu. Nanda kembali semangat.
Dokter pun datang bersama Ibu Nanda. Mereka tak mengetahui apa yang terjadi barusan. Yang terjadi hanyalah gelak tawa dan canda diantara mereka bertiga.
Suara adzan berkumandang dari Masjid Al-Falaq yang terletak disamping Rumah Sakit, menandakan Sholat Ashar telah tiba. Mengalun bergema mengitari ruang hati para hamba-Nya untuk bersegera melaksanakan kewajiban seorang muslim. Hujan pun sudah mereda, dibalik jendela terlihat pelangi terpampang jelas mengukir menghiasai langit. segerombolan burung layang-layang menari – nari mengikuti alunan tasbih. Senja akan tiba, sang mentari akan terbenam. Namun kebahagiaan itu akan abadi tak tertelan masa, selamanya.
~ Ahmad khoirul ZF. ~
0 komentar:
Posting Komentar