Perjalanan masih jauh. Di Bulan Ramadhan ini, aku sedang melakukan riset salah satu mata kuliah Perguruan Tinggi Swasta di Bandung. Riset yang akan aku amati adalah kesadaran masyarakat dalam berpuasa, baik itu perilaku msyarakat dari segi makan dan minum secara diam-diam, dan malahan ada yang buka-bukaan makan dan minumnya. Orang seperti itu sungguh tidak punya malu!, begitu juga tidak menghormati orang yang sedang berpuasa. Aku saja yang minim ilmu agama menyadari kekeliruan itu. Ada lagi kehidupan masyarakat bawah yang berjuang menahan lapar dan haus walau pekerjaan mereka hanya sebatas mengamen dan mengemis. Sungguh luar biasa bagiku.
Sebenarnya aku sendiri merencanakan riset tentang bencana alam di daerah Garut, namun ternyata dari pihak dosen menyuruhku untuk meriset tentang kegiatan di bulan Ramadhan. Tapi mau apa lagi, aku akhirnya memutuskan untuk riset dengan pembahasan “Kesadaran Masyarakat di Bulan Puasa”. Bagiku, tema yang diangkat ini memang terlalu subyektif, karena peristiwa yang didapat pasti banyak dan berfariatif. Apalagi bulan Ramadhan memang sudah dekat sekali, yaitu pada hari rabu besok.
Bulan puasa pun sudah dimulai, seminggu setelah mendapatkan tema, aku dengan teman-temanku yaitu, Ridwan, Rahmat, dan Sony pun berangkat ke Garut dengan menggunakan angkutan umum. Mereka hanya ingin menemani dan membantuku dalam mensurvei tempat riset. Dengan perbekalan yang matang, tekad semakin mantap. Mengharapkan riset tahun ini berhasil memuaskan.
Perjalanan tertempuh hanya dua jam saja dari bandung. Pemandangan yang dilalui begitu indah. Tiap pemandangan yang ada hanyalah daerah persawahan dan pegunungan yang menjulang tingginya. Membuat aku pribadi merasakan kesejukan kota Garut, mungkin teman-temanku juga sependapat tentang hal keindahan kota Garut ini. setiap pinggiran jalan, tertanam pohon pinus yang menjulang tingginya, sehingga daerah yang dilewati begitu sejuk dan teduh. Tanpa disadari akhirnya tiba juga di daerah yang akan menjadi bahan risetku.
Teman-temanku hanya memandu saja di dalam perjalanan. Sekedar mencari pengalaman. Sepanjang perjalanan menuju pemukiman setempat, selalu ada saja yang menarik perhatianku. Ada seorang Ibu yang sedang menggendong anaknya yang mungil. Anak-anak bermain girangya dengan permainan sederhana. “Jepret! Jepret!” Sekali-kali Rahmat, salah satu temanku memotret pemandangan sekitar. Baik itu penduduknya, keadaan lingkungannya, bahkan suasana panorama yang indah terpampang di depan lensa kameranya.
Pemukiman kecil ini terletak di daerah Kabupaten Garut Yang daerahnya sungguh fenomenal. Begitulah kata sebagian penduduk Garut bila menceritakan daerah ini. entah apa yang menyebabkan pemukiman ini begitu fenomenal, membuatku menjadi penasaran, dan itu juga yang menjadi alasan kenapa aku memilih daerah ini sebagai bahan riset mata kuliahku. Tapi begitu datang, susananya sama saja dengan pemukiman lainnya, ramah – tamah. Kebanyakan anak-anak kecil sedang bermain dengan asyik riangnya, dan para Ibu-Ibu sedang bertani di ladang kebun tehnya. Sedangkan pemudanya lagi sedang duduk-duduk di halaman teras rumah yang terbuat dari bilik bambu, namun tampaknya mereka tak senang dengan kedatangan ku beserta teman-teman, tidak terlihat ramah.
Ketika melihat – lihat pemukiman warga setempat, di antara bilik warga terdapat masjid yang rupanya sangat menarik. Aksitektur bangunan kecil bernama masjid itu sungguh unik, menyerupai bagunan gereja pada umumnya. Dinding jendela terhiasai kaca yang berwarna – warni dan juga bergambar abtraksi yang rupawan khas suasana gereja. Seolah-olah atau memang itu benar-benar gereja. Aku tak percaya ini, membuatku dan teman-teman ingin masuk ke dalamnya.
Setibanya di depan halaman masjid, terlihat terpampang papan nama bangunan tersebut dihadapanku, “MASJID NURUL IMAN” dengan tulisan kaligrafi arab yang sungguh indah. Luar biasa! Hati ini begitu kagum menyebut nama bangunan masjid itu. Yang membuatku bependapat, warga sini begitu agamis sekali. Mungkikah?.
Langkahku dimajukan kembali menuju arah pintu masjid, teman-temanku mengikuti dari belakang sambil membicarakan situasi pemukiman warga ini. Tiba-tiba saja seorang memanggil kami. Aku pun spontan membalikan badan menyahut akan panggilan orang itu, yang ternyata adalah Kepala Desa pemukiman ini.
“Assalamu’alaikum Pak,” sambil berjalan ke arahnya dengan mengulurkan tangan untuk berjabatan.
“Wa’alaikum salam, kalian ini yang akan melakukan riset itu ya?”
“Iya Pak, tapi sebenarnya cuma aku saja yang akan melakukan riset, sedangkan teman-temanku hanya membantu,”
Teman-temanku hanya bisa mengangguk dan tersenyum bila ditanya oleh Bapak Kepala Desa.
“Oh, begitu, ya sudah kalian silahkan menginap saja di rumah saya, Insya Allah ruangan kosong masih ada, yuk mari ikut saya” dengan tersenyum Bapak Kepala Desa membimbing kami menuju rumahnya yang terletak paling atas perbukitan, tempat yang lumayan indah dan jelas bila memandang sekitar pemukiman dari sana.
Malam menjelang, terdengar suara burung malam bernyanyi dengan riangnya. suara adzan magrib tak nampak begema, padahal didaerah itu terdapat masjid tua bernama NURUL IMAN, cahaya iman. Lalu kemana semua orang? Kemana semua pemuda setempat yang seharusnya meramaikan suasana masjid?. Yang bikin anehnya lagi, Bapak Kepala Desa melarang aku dan teman-teman untuk keluar malam, apa lagi untuk sholat di masjid itu saja, tidak boleh. Aku semakin bingung.
*****
Dingin udara membuatku semakin menggigil sejadinya. Dengan mengenakan jaket setebal kulit badak pun tak akan menghangatkan badanku. Teman-teman sedang bergumal dengan canda tawanya di kamar yang cukup luas. Rumah Bapak Kepala Desa begitu besar, namun yang menetap hanyalah Bapak Kepala Desa dengan istrinya, sedangkan anak-anaknya sudah bermukim di luar kota, ada yang sudah menikah, dan ada yang masih melanjutkan pendidikannya di Universitas ternama, katanya.
Suasana pemukiman begitu sepi sekali. Aku mengintip ke jendela ruangan depan rumah, yang ada hanyalah nyala obor warga yang terpajang di depan rumah mereka. Tak ada warga yang terlihat di luar. Sunyi senyap. Hanya hembusan angin saja terdengar olehku. Berderu membelah udara yang kosong membuatku membayangkan rasa dingin yang amat sangat diluar sana. Dari sini, masjid NURUL IMAN yang kokoh yang menyerupai gereja itu, begitu jelas sekali, cahaya lampu menara menyala redup. Aku begitu penasaran, ingin sekali keluar rumah melihat situasi yang terjadi. Apa yang sedang dilakukan penduduk pemukiman di waktu sekarang ini. diriku bertanya-tanya.
Arah jarum pendek jam dinding rumah sudah menunjukan ke arah angka tujuh, menandakan sebentar lagi isya. Aku yang sedang berada di ruang tamu. Hanya bisa duduk dan membaca majalah yang tergeletak di meja. Teman-teman masih asyik bersenda gurau, walau terkadang memanggilku untuk bergabung saling bercerita pengalaman pribadi masing-masing, guna menghilangkan rasa dingin yang dirasakan kini. Bapak Kepala Desa sedang keluar, katanya ada urusan penting mendadak. Larangannya sungguh membuat aku susah mensurvei pemukiman ini, baik itu keadaan penduduknya, kelakuan penduduknya ramah atau tidak. Itu emua demi melancarkan risetku. Akhirnya aku putuskan, ba’da sholat isya aku akan keluar tanpa sepengetahuan Bapak Kepala Desa.
Waktu isya pun tiba, aku dan teman-teman solat berjamaah. Ridwan yang menjadi imam sholat. Semua nampak khusu’.
Selepas sholat, aku langsung bersiap-siap untuk keluar rumah. Teman-teman juga demikian. Bapak Kepala Desa masih belum pulang, ini menjadi kesempatanku untuk melihat, apa sebenarnya terjadi diluar sana.
Sekonyong-konyong aku dan teman-teman menyelinap keluar tanpa sepengetahuan Istri Bapak Kepala Desa. Dengan hanya membawa alat penerangan berupa senter, kami keluar menuruni perbukitan menuju pemukiman warga.
*****
“Astagfirullah!!” tersentak kaget melihat pemandangan yang terjadi di depan mataku diikuti juga teman-teman. Semua warga orang dewasa sedang asyik berjudi ria. Malah ada yang mabuk-mabukan. Sungguh keterlaluan kampung ini.
“Eh, anak-anak kenapa keluar,?!”tiba-tiba saja datang Bapak Kepala Desa yang ternyata sudah kembali dari keperluannya.
“Pak! Tolong jelaskan ini kepada kami!” bentakku.
Warga yang sedang berjudi hanya memandang kami. Sekilas mereka melanjutkan perjudian. Ternyata inilah yang membuat pemukiman begitu fenomenal. Luar biasanya, bukan fenomenal akan kebaikan warganya, tetapi keburukan dan kebiasaan yang menyimpang jauh dari norma agama.
“Baiklah, sebaiknya kita kembali ke rumah Bapak, kita jelaskannya disana saja, disini kurang aman, takut terjadi sesuatu yang tak dinginkan!” saran Bapak Kepala Desa kepada kami.
“Woi, Pak Kepala Desa,! Itu bocah-bocah dari mana asalnya?! Kenapa ada di pemukiman kita ini?! ganggu aja, suruh pulang saja mereka!!” hardik salah satu warga yang jengkel dengan kami. Kami yang mendengarnya merasa murka. Emangnya kita ini apa. Enak aja kalau bicara. Ujarku kesal.
“Eh, Bapak-Bapak!! Hormat sedikit napa, ini bulan Romadhan!!, kalian malah enak-enakan main judi dan mabuk-mabukan,!” ketus Ridwan dengan muka merah padam.
“Eit, bocah! Berani juga nyalinya! Lo mau gue pukulin ya!!” bentak salah satu warga yang badannya agak kekar dibanding warga lainnya.
Bapak Kepala Desa yang melihat pertengkaran mulut itu, langsung segera menghentikan sebelum terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
“Maaf, Bapak-bapak, ini tamu saya. Tolong jangan ada masalah di sini.” Ucap Bapak Kepala Desa kepada warga yang sedang berjudi.
Akhirnya aku dan teman-teman hanya bisa mengikuti saran Bapak Kepala Desa, yaitu kembali ke rumah dengan membawa ketidak percayaan terhadap warga setempat. Aku butuh penjelasan, Sekaligus semakin kuat untuk meriset pemukiman ini.
Sesampainya di rumah, Bapak Kepala Desa pun menjelaskan semua yang terjadi.
“Begini, puluhan tahun yang lalu, pada masa penjajahan Belanda. Pemukiman ini dimukim oleh orang-orang belanda yang dimana dulu mayoritas orang-orang kirsten. Bangunan masjid yang terletak diantara pemukiman warga adalah bekas gereja. Disana adalah tempat peribadatan orang Belanda dimasa penjajahan dulu.”
“oh, pantesan saja. ternyata itu gereja” gerutuku dengan memperhatikan setiap ucapan Bapak kepala Desa. Apa lagi teman-temanku semua serius memperhatikan.
“Namun ketika zaman kemerdekaan sebelum Jepang menjajah negara kita, ada sekelompok ulama dari jawa tengah singgah ke pemukiman ini. awalnya mereka datang untuk berdagang, dan akhirnya warga sini menerima mereka. lalu para ulama tersebut menginap selama mereka perlu. karena mereka juga adalah ulama yang paham agama islam, otomatis dakwahpun dilancarkan. Hampir sebagian warga masuk memeluk agama islam. Namun ada saja yang menentang akan ajaran islam. Ajaran dakwah mereka sungguh unik, yaitu melalui metode kesenian dan perdagangan. Setahun dua tahunan, warga sini akhirnya kebanyakan memeluk agama islam, dan mereka membangun masjid untuk beribadah kepada Tuhan, yaitu sholat.” Berhenti sejenak sambil meminum air the menenangkan diri. Kemudian cerita dilajutkan kembali.
“Para ulama yang melihat gereja yang bediri kokoh kepikiran untuk tidak menghancurkannya. melainkan merenovasinya menjadi masjid. Akhirnya gereja itu telah berganti bentuk menjadi masjid, dan diberi nama NURUL IMAN oleh salah satu ulama tersebut. Pengajian berdetak dengan semangat. Ibu-ibu tak mau ketinggalan pengajian. Anak-anak mengaji Al-Qur’an dengan syahdunya.
“lalu Pak, kenapa bisa begini suasananya?” tanyaku dengan heran
“Nah itulah, sayang beribu sayang. Ketika para ulama yang masih singgah ternyata sudah meninggal dunia. Sudah tak ada lagi yang mengawasi, dan mengajarkan agama Islam diantara warga. Sedangkan warga masih minim akan pengetahuan agamanya. Hingga datanglah malapetaka itu. orang dewasa yang susah mengaji mulai berbuat onar. Mereka melanggar syariat islam, ada yang berjudi, bermabuk-mabukan, mencuri, membunuh dan berbuat asusila. Sungguh parah waktu itu. tapi warga yang masih bertahan imannya segera mengungsi dari pemukiman ini. makanya situasi yang terjadi, menyebar ke daerah kota Garut. Menjadi bahan gunjingan, dan sampai-sampai dibilang fenomenal. Fenomenal karena bejatnya akhlak.”
“Tapi Pak, pagi tadi begitu harmonis sekali. Ibu-ibu ada yang berkebun the, anak-anak asyik bermain? Lalu kenapa bisa malam ini berubah sekian drastisnya. Malah bertolak belakang begini.”
“ya, ya Pak, bagaimana itu bisa terjadi?” penasaran Rahmat. Begitu juga Sony dan Ridwan.
“Hm,, Alhamdulillah peduduk sekarang tak begitu separah apa yang dilakukan uyut-uyut mereka di masa lalu. Yang masih melekat pada warga adalah perjudian dan mabuk-mabukan saja. sedangkan Ibu-ibu hanya mengurus rumah tangga. Saya sendiri dan pemeritah setempat yang memantau mereka. Tabi’at mereka memang sudah tidak bisa diubah. Saya sendiri bukanlah orang sini. Saya penduduk pendatang yang diutus pemerintah untuk mengawasi mereka.”
“Jadi begitu ya, saya jadi mengerti sekarang. Baiklah pak! Insya Allah saya dan teman-teman akan balik dulu ke bandung besok untuk mempersiapkan segalanya untuk riset saya. Sekarang kami mau istirahat dulu. Terima kasih atas penjelasannya Pak,”
“Sama-sama” dengan wajah tersenyum.
Aku dan teman-teman menuju ke kamar, melepas penat pikiran yang barusan telah terjadi. Sungguh parah keadaan pemukiman ini. sambil mempersiapkan makanan apa saja untuk disantap pada sahur nanti. Tak habis fikir, kok ada ya pemukiman yang masa lalunya seperti itu. berawal jaya kini berakhir bencana adzab Allah. Ah! gak usah dipikirkan.
Nanti ketika tiba di Bandung, aku akan mempersiapkan rencana matang. rencana yang bukan sekedar meriset saja, tetapi juga dakwah. Ya! Dakwah, itulah yang akan aku bawa nanti ke sini dengan membawa anggota LDK kampus. Ini akan menjadi misi yang luar biasa. Aku ingin melihat masjid yang dulunya gereja itu hidup kembali, dan mengubah kebiasaan warga yang menyimpang itu menjadi berbuat kebaikan. Itu pasti!. Apalagi ini bulan Romadhan, aku mesti sabar dan ikhas menjalaninya.
Malam ini aku bersujud,
Dimalam ini aku berdzkir,
MengingatMu dalam relung dinginnya malam,
Bermohon esok dalam keridhoan dan keikhlasanMu,
Tuk sebuah perubahan,
Ya Robb..
~END~
AHMAD KHOIRUL ZF
0 komentar:
Posting Komentar